Kru Pandan Adventure Bersama PPIA Polonia di Puncak Gunung Sibayak |
Telepon
genggamku berdering. Suara tak ku kenal berbicara. Dia bicara langsung ke pokok
pembicaraan. Lama aku tersadar poin pembicaraanya mengarah kemana. Seorang wanita
bersuara syahdu, ku perkirakan dia berusia 35 tahunan. Dia memintaku untuk
mengisi pelatihan ala-ala untuk anak-anak PPIA Polonia Medan yang
pesertanya sekitar 60 orang, plus
sewa tenda sekitar 10 paket. Kesempatan bagus pikirku. Aku tak otomatis
mengaminkan permintaannya. I just want to
take my time to think. Sombong sekali kedengarannya. Tapi bukan itu
poinnya. Tentu aku belum pede saat itu.
I said yes! Belum
tahu seperti apa dan bagaimana, ditambah, tenda yang ada saat itu belum
memadai. Masih kurang. Bahkan sudah banyak yang rusak. Putar otak 180 derajat.
Segera kru Pandan menyatukan kekuatan, saat itu hanya Shepta Sembiring yang
siap sedia. Mahasiswa geologi disalah satu kampus di Medan yang sudah tinggi jam terbangnya. Keluar
masuk hutan. Ada satu lagi, Arjun Sinuraya yang pada waktu itu masih berstatus
mahasiswa jurusan Ekonomi Dan sekarang sudah menjadi sarjana Ekonomi.
Cepat sekali waktu berlalu.
Sebelum
hari H, aku tak mau pergi dengan tangan dan otak kosong. Rancangan acara sudah
di tangan dan dipikiran. Ternyata mereka menyerahkan seutuhnya kepada kami kru
Pandan, mau bagaimana acara tersebut berlangsung. TOR (Term of Reference) ku di
setujui. Dengan syarat, tak ada kontak fisik dan kata-kata kasar.
Menikmati Menu Makan Bersama |
Sekitar
10 paket perlengkapan camping ready. Tenda, matras, nesting, kompor
portable, gas, flysheet, kami pack
sedemikian rupa. Rupanya Shepta lihai sekali memperbaiki tenda yang sudah lama
rusak. Tenda rusak saja bisa diperbaiki dalam waktu singkat, apalagi hubungan
yang rusak. hahaha
Sibayak,
tujuan kami saat itu. Perjalana kami dimulai pukul 2 siang, sekitar pukul 5 sore kami sampai di pos retribusi. Sempat ada percekcokan dengan pemuda setempat yang
mengaku pengurus terkait. Mereka mempermasalahkan naiknya bus kami sampai ke
pos 2 Sibayak. Ada udang dibalik batu, bukan tanpa maksud mereka ribut soal
itu.
Aku sadar, mereka berang bukan karena peraturan yang ada. Mereka mengharap
saweran lebih dari kami. Aku turun, karena suasana sudah semakin keruh. Aku tak
bermaksud marah, ku pasang wajah seimut mungkin berharap mereka memberi jalan
kami lebih lapang. Tak mempan. Ternyata rupiah mengalahkan pesonaku. Ya semua
orang di dunia ini suka dengan uang. Tak mau mengahabiskan waktu lama, kakak
Pembina rombongan memintaku agar memberikan saja uangnya.
Ternyata
kelihaianku berbelanja di pasar yang lebih sering menawar harga sembako berguna
disana. Aku meminta harga diturunkan dengan berbagai alasan, dengan syarat,
pada saat penjemputan kami pulang, tak ada bayaran apapun lagi untuk mereka.
Aku mencatat nama si laki-laki paruh baya yang mengaku petugas terkait
tersebut.
Kami
melanjutkan perjalanan kami yang mulai mendaki namun masih di atas aspal. Kami
turun di pos 2 Sibayak, yang sekarang ini sudah menjadi tempat retribusi. Tak
disangka, para peserta membawa barang-barang yang tak seharusnya dibawa
mendaki. Kompor gas beserta tungkunya, air mineral berkardu-kardus and many more they should not bring those
things.
Kami
sampai di pos 3 sekiar pukul 6.30, hampir 1 jam waktu yang kami perlukan untuk
sampai ke pos 3. Banyak berhenti karena barang bawaan yang segudang. Tapi tak
menjadi masalah, toh sampai di pos 3 kami bisa minum kopi dan the manis panas
yang di masak langsung menggunakan kompor gas yang dibawa oleh adik-adik PPIA
tadi.
Kami
tak beranjak dari pos 3 untuk mendaki lebih jauh lagi. Kami mendirikan tenda
disana Karena sudah ada tanda-tanda badai. Aku memang sudah mengatur sejak
awal, pendakian hanya sampai pos 3. Akan lebih nyaman melakukan berbagai
kegiatan disana mengingat banyak sekali barang-barang yang harus dipanggul lagi
jika kami harus sampai ke puncak.
Acara
dibuka dengan kebaktian sekita pukul 7 malam. Bernyanyi beberapa lagu sekolah
minggu, mendengarkan Firman Tuhan sebagai renungan sedikit sharing tentang ayat-ayat alkitab. Menyenangkan sekali mendengar
anak-anak itu bercerita. Masing-masing dari mereka memiliki ayat alkitab
andalan yang sering sekali dijadikan pegangan hidup. Beberapa justru bingung
dan merasa harus cepat-cepat membuka alkitabnya. Ya mereka membawa alkitab di
backpack pribadi mereka. Bak kilat menyambar, ayat alkitab andalan pun di dapat
hanya dengan sekali membuka. Nampaknya para kakak Pembina mereka sudah bekerja
keras untuk itu.
Masih
teringat jelas diingatan, salah satu peserta memiliki ayat alkitab andalan yang
sama denganku. Seperti yang tertulis di hukum taurat ke-5 di Keluaran 20:12 “Hormatilah ayah dan
ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.”
Melakukan Pendakian Kepuncak Sibayak |
Menurutku, ayat tersebut bisa
mengajarkan kita bagimana menjalin hubungan terhadapa orang tua, bahkan Tuhan.
Bagimana kita bisa menghormati bahkan percaya kepada sesuatu yang tidak bisa
kita lihat kalau yang sudah jelas di depan mata kita terabaikan.
Makan malam telah tersedia
sembari kami sharing. Para kakak Pembina sudah menyiapakan hidangan yang belum
pernah aku makan sebelumnya di pendakian. Rendang, men!! Tak perlu waktu lama
untuk bersantap. Makan malam ala perang yang kru pandan memberi bumbu
kebersamaan dan rasa berbagi saat makan. Makan beralaskan kertas nasi yang
dibariskan sepanjang 10 meter. Sekitar 50 orang menikmati santap malam yang
ditemani suasana dingin yang pastinya tak mereka dapatkan di medan. Ternyata
banyak dari antara mereka yang mengaku itu adalah pengalaman pertama. Tubuh
mengigilnya dihangatkan.
Saling curi rending terjadi,
karena mereka merasa porsi yang disedikan kurang dengan cuaca pada saat itu.
Tapi hal tersebut bukan hal yang serius, mereka terlihat menikmati bahkan saat
rending mereka hilang ditelan bumi. Hanya ada canda dan tawa meskipun dibumbui
repetan khas Medan, “mengkek kali orang ini, balekkan lah
ikanku woi,”
you know what, di Medan akan mengatakan semua jenis makanan sebagia teman nasi
adalah ikan, meski yang sedang dimakan adalah ayam bahkan rending. Lucu yaaa?
Perut kenyang, hati senang. Kopi
dan snack malam tersedia. Rupanya para kakak Pembina memanjakan kami. Sekitar 20
meter dari tempat kami bersantap, Shepta dan Arjun sudah menyiapkan api unggun,
beserta materi yang mau mereka bagikan nanti. Kali ini Shepta sebagai penyaji
materi. Sekilas tentang pendakian dan dasar-dasar leadership. Banyak pertanyaan
dan lawakan, tak disangka anak jaman sekarang adalah generasi yang skeptis
untuk hal-hal baru. Namun banyak juga dari mereka yang hanya mematung ketika
ditanya.
Beruntungnya perlahan bulan
menampakkan diri, awan tersapu angina. Biasan cahaya bulan mulai memancar
menyirami wajah kami satu persatu. Mulai tampak jelas, siapa diantara mereka
yang memang mendengarkan atau pura-pura dengar.
Sekitar 2 setengah jam kami
berbagi, saling Tanya dan jawab, melemparkan candaan ringan. Sedikit lewat dari
jadwal yang sudah ada di TOR, semua peserta diharapkan bisa beristirahat,
Karena pagi-pagi buta pendakian ke puncak akan dilanjutkan. Awalnya mereka
terlihat seperti anak baik budi yang penurut. Semua masuk ke tenda
masing-masing sesuai arahan.
Mataku mulai ditarik, namun aku
msih mendengar beberapa gaduh dari tenda sebelah, tak jelas tenda mana. Lagi
lagi terdengar gaduh. Shepta dan Arjun sempat bersuara untuk menenangkan
mereka. Sudah hampir setengah jam mereka terdengar sibuk dengan masalah yang
tak jelas, tiga kali pula aku bersuara.
Aku sempat bertanya kepada kakak
Pembina yang bertanggung jawab untuk acara itu, dan memastikan acara 100 persen
diserahkan kepada kami kru Pandan, dengan syarat awal taka da kontak fisik dan
katak-kata kasar.
Aku berang, antara berang
sungguhan dan acting, tak bisa kubedakan lagi. Sauraku melengking meminta
mereka keluar tenda, pukul 1 malam. Lepas alas kaki, dengan keadaan lapangan
sedang becek karena sebelumnya turun hujan. Kami bertiga sempat give up karena
tak menemukan titik masalahnya.
Diantara mereka tak ada yang mengaku
salah. Malam semakin larut, udara semakin menembus kulit. Satu per satu mereka
merengek. Namun tetap tak ada yang mengakui kesalahannya. Satu menit kemudian
mereka semua sudah duduk di tanah tanpa alas, beberapa dari mereka harus duduk
di genangan air atas perintahku. Ya kali ini aku memerintah.
Mungkin kalau disana ada ayam,
kokoknya pasti memecahkan keheningan kami. Tandanya subuh mulai menjelang. Aku,
Shepta dan Arjun memutuskan untuk tidur. Tanpa rasa marah, aku tertawa
dibelakang mereka. Artinya saat itu aku tak marah sepenuhnya. Hanya acting biar
terlihat keren hehehehe…
Pukul 6 pagi kami muncak, bukan
waktu yang tepat lagi melihat matahari kemerahan seperti lidah api. Biasanya
matahari seperti itu akan kita jumpai sekitar jam 4 pagi sampai jam 5 pagi.
Kami mendaki sekitar 2 jam. Tentu matahari sudah tinggi. Tapi tak mengurangi
rasa kagum mereka memandang luas ke seluruh Sibayak ku biarkan alam memanjakan
mata mereka tanpa embel-embel masalah kemarin yang sampai dipuncak pun belum
ada titik terangnya.
Aku bisa lihat aura semangat dan
rasa happy yang mereka rasakan dari tatapan mata mereka. Satu per satu ponsel
pintar mereka menjepret sana-sini. Tak lupa selfie untuk di upload ke media sosial,
dengan caption “Terima kasih Tuhan atas ciptaanMu” ada juga yang bersyair bak
pujangga, “sinar matahari menemani pagiku, sinar matahari mengingatku pada
cintamu bla bla bla,”
Tak lebih dari 2 jam berada di
puncak, kami turun menuju camp. Sisa kegiatan demi kegiatan selesai dilakukan.
Tibalah waktunya untuk pamit kepada alam sekitarnya. Kakak Pembina meminta
waktu sebentar sekadar untuk merefleksi kegiatan.
Tiba-tiba, seorang gadis yang ku
perkirakan berusia 15 tahun keluar dari barisan dan mengangkat tangannya.
Sepertinya aku tahu arah dan tujuannya. Dia mengaku, mengaku kesalahannya pada
malam itu. Dia hanya malu untuk mengakuinya. Entah apa yang menggerakkannya
untuk mengaku. Satu per satu sekitar 4 orang pun menyusul di belakangnya dan
mengaku kesalahan. Yang lain turut menyumbang kata-kata untuk mengucapkan
terimakasih dan meminta maaf atas kenakalan mereka. Tentu saja bukan masalah
lagi.
Pukul 3 sore kami
beranjak meninggalkan Sibayak, menuju destinasi selanjutnya. Tanpa dendam dan
amarah, yang tersisa hanya cerita.
Salam Lestari dan Jangan Buang Sampah Sembarangan ya.
Salam Lestari dan Jangan Buang Sampah Sembarangan ya.
0 comments:
Post a Comment