Peluh bercucuran meski kami beralas
daerah pegunungan yang nota bene berudara sejuk bahkan dingin. Siang itu memang
matahari sedang memamerkan sinar gagahnya, hingga udara dingin yang bercampur
teriknya matahari seakan menghantam kulit.
Kami tiba disana tepat saat mereka
bersantap siang. Sekitar jam 1 siang, anak-anak dan orang tua berlarian
mengambil jatah makan. Entah apa yang dikejar padahal jaraknya hanya beberapa meter
saja.
Sekitar puluhan orang yang berada disana
tampak hanya beberapa yang mengambil jatah makan siangnya. Ternyata beberapa
dari mereka merayakan lebaran bersama keluarga diluar posko pengungsian. Dan
beberapa lagi pergi ke rumah sanak saudara karena memang anak-anak sekolah
sudah libur sekolah.
Kami meghampiri salah seorang pengungsi
yang tak terlihat sibuk dengan makanan, justru ia sedang serius dengan lumping
dan lesungnya yang berisi kopi yang ditumbuk. Tak terlihat raut kesedihan di wajah
keriputnya. Nenek berusia 61 tahun ini kami panggil dengan sebutan Ribu, Ribu
berarti sebutan untuk nenek yang berberu perangin-angain, ia tampak ramah
menyambut kami yang menganggu keasyikannya.
Mungkin karena sudah terbiasa oleh
kedatangan orang asing ke tempat itu, karena sudah setahun ia berdiam di posko.
“Tinggal disini, ya…!! enggak senanglah,
kan gak ada lagi kampung kita,” katanya sambil tersenyum kecut yang memecah
imej cerianya saat menyambut kami.
Sehari-hari ia berladang, namun bukan
ladang sendiri. Ia berladang ke lahan orang lain dan diberi upah 60 ribu
perhari. Dirasa cukup untuk uang kantong sehari-hari diluar keperluan makan dan
kebutuhan lainnya.
Perutnya mulai terasa lapar, kami diajak
masuk kedalam tenda tempat tinggalnya. Di tenda yang luasnya sekitar 5x3 meter
itu berdiam 2 keluarga yang berjumlah 8 orang. Masing-masing tenda biasanya
hanya dihuni 1,2 atau 3 kepala keluarga, namun Karena mereka masih ada hubungan
sudara, mereka disatukan di 1 tenda.
Tampak berantakan dan barang-barang
terletak tak beraturan. Tempat masak dan tempat tidur seakan tak berjarak.
Semua dilakukan di 1 tempat. Didalam agak panas, pengap dan hanya sedikit udara
yang masuk. Terlihat para pengungsi tak betah berlama-lama di dalam lebih memilih
berkeliaran di luar tenda sekitar posko dari pada harus berada di tenda. Diluar
mereka bisa menonton televisi dan anak-anak biasanya bermain diluar untuk
memecah kebosanan..
######
Tak begitu dengan nenek berusia 61 tahun
yang kami temui di posko berbeda, tepatnya di Posko gedung serba guna KNPI.
Beru Sembiring, begitu ia memperkenalkan diri kepada kami. saat kami berkunjung
ia tengah sibuk meminta benang pancing yang akan disatukan dengan beberapa
plastik bekas minuman penyegar. Tangan keriputnya tak berhenti meskipun ia
melayani kami berbicara dengan sejumlah pertanyaan yang mengorek kembali
lukanya.
“Beginilah nasib kami nakku, belum
jelas. Kami pun makan yang dikasih-kasih orangnya,” katanya dengan logat Karo
yang sangat kental. Tak terlihat rona bahagia suasana lebaran di wajahnya.
Beberapa waktu lalu memang secara tak
sengaja ada warga yang datang berkunjung ketempat itu sambil membawa kerajinan
tangan dari sampah daur ulang. Akhirnya sebagian besar ibu-ibu yang ada
dipengungsian diajari membuat kerangjang dan kerajinan lainya dengan
menggunakan limbah plastik supaya pengungsi punya kegitan di posko.
“Inilah kegiatan buang
suntuk kami nakku, kalau ada yang beli syukur, kalau tidak ada yang beli yang
penting enggak suntuk lah,” katanya lagi tanpa kami tanya.
Di posko Gedung
Serbaguna KNPI ini tinggal sejumlah 175 KK atau sekitar 495 jiwa dan kesemuanya
adalah warga desa Pintu Besi yang sudah tinggal di sana selama satu tahun, tak
jauh beda dengan kegiatan di pengungsi di posko ini, untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan biaya anak sekolah dan kuliah para orang tua juga kerja upahan
di kebun warga.
Tumpukan Kerajinan Tanagan yang di buat Nek Biring, semua ini di jual untuk menambah biaya hidup Sehari-hari |
“Kalau ada kerja upahan
ya kami kerja upahan, kalau gak ada kami cari bekas-bekas limbah botol minuman
untuk di jadikan kerajinan tangan , apapun kami usahakan untuk bisa bertahan
hidup dan biar gak suntuk. Kami juga gak tahu lagi nasib kami ini” keluh nenek
bru sembiring yang sedari tadi sibuk menyatukan satu demi satu potongan botol
mineral yang akan di jadikan keranjang.
********
Meski kondisi relokasi tahap dua,
relokasi mandiri dirasa lebih baik dibanding di posko pengungsian, mereka pun
punya cerita sendiri dan kepedihan tersendiri. Seperti keluarga Situmorang ini
merupakan bagian dari program relokasi tahap 2 tersebut.
Mereka dibekali uang senilai 5.600.000
per tahun untuk sewa rumah dan ladang untuk dikerjakan sebagai penopang biaya
hidup sehari-hari. Nilai tersebut masih dirasa kurang untuk keperluan selama
setahun. Mereka harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi kebutuhan hidup
terlebih lagi biaya pendidikan kedua anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah
Dasar.
Keluarga yang berasal dari Desa
Berastepu yang 2 tahun lalu digilas luncuran abu vulkanik. Perbedaan mereka
dengan pengungsi yang berada di tahap satu yaitu relokasi Siosar ialah para
pengungsi siosar ialah keluarga yang desanya yang tak mungkin lagi untuk
dihuni, sedangkan relokasi mandiri adalah desa yang masih memungkinkan untuk
dihuni bila bencana ini berangsur pulih.
“Yaa mereka sudah termasuk enak lah yang
di Siosar itu, dikasih rumah, ladang sama uang buka lahan,” katanya. Meskipun
begitu ia tetap bersyukur dengan keadaan keluarganya sekarang di banding
pengungsi yang masih belum bisa keluar dari posko pengungsian dan hidup
selayaknya keluarga yang telah direlokasi.
NB: Berita ini Pernah di Post di Tabloid Mahasiswa Karo edisi pertama "Sora PMMS" sebagai berita utama tabloid Perdana Mahasiswa tersebut, Berikut di Post Kembali di Blog Pandan Adventure Sebagai pengingat kembali dan sebagai bentuk kerjasama Pandan Adventure dan Kru Sora PMMS delam menggali dan mempromosikan Objek-objek Pariwisata Karo Khususnya. Semoga Bermanfaat.
0 comments:
Post a Comment