Pemandangan dari Puncak Pusuk Buhit
|
Sore itu
sedikit gerimis, hujan yang tak mau berhenti membuat kami sedikit gelisah,
sesekali kami mengamati cuaca di luar sana berharap hujan akan berhenti. Bus
yang kami naiki juga tak mau berhenti, supir sepertinya tak mau kalah dengan
bus yang ada di depanya, sedari tadi mereka saling kejar-kejaran tanpa peduli
pengguna jalan yang lain dan kami yang duduk di dalam.
Perut
kami sedikit di goyang-goyang ketika memasuki kelok-kelok jalan memasuki hutan
lindung aek pondom. Supir bus yang kami tumpangi seakan hapal setiap tikungan
yang kami lewati, tanpa ada rasa ragu ataupun takut si supir tetap menancap
gas. Padahal disebelah kiri jalan yang kami lewati jurang menganga lebar,
sedikit saja pak supir salah perkiraan langsung terjun kedalam jurang.
Hujan
yang deras dan di tambah kabut yang tebal membuat dinginya menusuk sampai ke
tulang sumsum, sesekali kami menggosokkan kedua tangan untuk mengusir dingin.
Tak henti-henti teman saya melihat jam tangan di tangan kananya, sambil
menerawang cuaca di luar yang tak berubah. Tetesan kabut yang melengket di kaca
bus membuat pandangan kami dari dalam bus sangat terganggu. Tak terasa empat jam sudah kami duduk manis di dalam
bus, membuat rasa bosan yang mulai menguasai kami.
Hujan
mulai reda, yang tampak hanya kabut yang
menutupi hutan dan perladangan warga, memasuki daerah Kab. Dairi kami mengamati
penduduk yang mulai sibuk di kebun-kebunya. Pemandangan perladangan kopi dan
kelok-kelok baris tanaman cabai, tomat dan kol terpampang di setiap ladang
warga yang kami lewati.
Memasuki
perbatasan Kab. Dairi dengan Kab. Samosir tampak gapura yang tak terurus dengan
tulisan selamat datang di Kab. Samosir. Saya pun menyiku teman yang duduk
persis di samping kana saya sambil
berkata “ ei bangun dah sampai kita di Kab. Samosir” teman saya langsung bangun
dan mengatur duduknya. Di kanan dan kiri tampak hutan yang sudah di garap warga
sebagai lahan pertania.
Tidak
berapa lama kami akhirnya sampai di Tele, dari sini kami agak sedikit cemas
karna jalan yang akan di lalui bus yang kami tumpangi akan menurun serta
berkelok-kelok dan jika salah perkiraan
bisa langsung terjun ke dalam jurang atau menaberak tebing batu cadas yang
berada di sebelah kiri jalan.
Dilain sisi kami juga merasa takjub melihat
pemandangan Danau Toba, tampak tak ada yang menggangu pandangan kami. Air Danau
yang tampak biru dan pemandangan jalan yang berkelok-kelok menjadi salah satu
pemandangan yang tak wajib dilewatkan dan nikmati bagi siapa saja yang ke Danau
Toba melalui Tele.
Sebenarnya
Hari itu kami berencana untuk mendaki salah satu bukit tertinggi di Kab.
Samosir, bagi orang Batak nama bukit itu tidak terlalu asing. “Pusuk Buhit”
begitu orang menyebutnya, yang berarti bukit yang paling tinggi. Kami
memutuskan untuk mendakinya melalui desa Sianjur Mula-mula. Desa ini tepat
berada di bawah kaki Bukit Pusuk Buhit. Gunung setinggi 1.800 mdpl ini, sangat
disakralkan, karena dianggap sebagai muasal nenek moyang orang batak ribuan
tahun silam.
Informasi
yang kami dapat dari beberap media batak dan cerita dari penduduk desa Limbong
dan Sianjur mula-mula bahwa di gunung inilah pertama kali, Deak Parujar, yang
menurut keyakinan tradisi merupakan dewi penciptaan orang batak, memulai
menciptakan kehidupan. Ia menurunkan generasi selanjutnya yakni Si Raja Batak.
Si Raja Batak inilah yang kemudian dianggap generasi awal dimulainya peradaban
modern masyarakat Batak. Makanya gunung ini sangat di sakkeralkan bagi orang
Batak. Informasi inilah membuat kami merasa penasaran untuk mendaki gunung ini
dan beberapa dari kami merupakan orang Batak yang berasa dari Pulau Samosir.
Sekitar
pukul lima sore kami sampai di Desa Limbong, dari sini kami melanjutkan untuk
berjalan kaki menuju Desa Sianjur mula-mula. Sekitar lima belas menit berjalan
kaki akhirnya kami tiba di SMA Negeri sianjur Mula-mula. Kami memutuskan untuk
berhenti di warung yang berada di sebelah kanan gerbang sekolah itu. Seberi
menunggu teman yang belum sampai kerna terkena hujan sebap mereka mengendarai
Sepeda Motor.
Desa
Sianjur Mula-mula, berada di bawah kaki Pusuk Buhit
|
Matahari
mulai terbenam, angin pun berhempus kencang, udara dingin mulai datang, jeket
tebal yang kami pakai seakan taksanggup mengusir rasa dingin sore itu, salah
satu teman kami berinisiatif membuat api unggun sebebari menunggu.
Pukul
delapan malam teman-teman yang sedari tadi kami tunggu akhirnya tiba, tanpa
banyak basa-basi kami langsung berangkat. Sebelum menapaki jalan menuju Pusuk
Buhit kami singgah di Kampung Siraja Batak, disana kami putuskan untuk mengecek
semua perlengkapan dan logistik yang kami perlukan. Setelah selesai kami pun
membuat lingkaran kecil dan Berdoa agar perjalanan pendakian kami malam hari
itu berjalan dengan baik.
Setapak
demi setapak mulai kami langkahkan kaki ini, suara angin yang berhempus
terdengar ketika bersentuhan dengan dedaunan cemara membuat sedikit hening
pendakian kami malam itu. Suara jangkerik dan serangga malam yang saling
bersaut-sautan sepertinya tak mau pergi menemani langkah kami.
Trek
yang kami lewati terus menanjak karna kami tidak mengikuti jalan yang mobil
biasanya lewati. Kami lebih memilih membelah hutan perdu yang tinggi dan
melewati kebun-kebun warga yang berada di badan gunung. Karna kalau melewati
jalan wisata biasanya waktu yang
dibutuhkan lebih lama karna jalannya berkeliling mengitari bukit.
Beristirahat
Sejenak Sebari Mengumpulkan Tenaga Dan Stamina
|
Keringat
sepertinya tak mau berhenti menetes dari wajah kami, gerah dan panas tak mau pergi dari tubuh ini, padahal angin
cukup kencang malam itu. Langkah kami yang sedari tadi cepat mulai pelan-pelan
karna tenaga dan setamina kami mulai berkurang, maklumlah karna malam itu kami
belum makan, padahal jam sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Akhirnya di
samping gubuk warga yang kebunya kami lewati, kami putuskan untuk berhenti
sebari memasak mie instan untuk mengisi perut kami yang kosong.
Memasak Mie Untuk Mengganjal Perut Yang Kosong |
Setelah
selesai makan, kami langsung melanjutkan perjalan kami, makin keatas berjalan
angin semakin kencang, rasa panas dan gerah yang sedari tadi menyelimuti tubuh
kami berlahan pergi di hantam embusan angin malam Pusuk Buhit.
Semakin
berjalan ke atas treknya semakin menanjak, curam dan licin, untuk melaluinya
kita harus saling menarik atau bergandeng tangan agar tidak terjatuh. Dibutuhan
kerjasama yang baik bagi para pendaki untuk melalui trek yang memotong jalan
ini. Tanjakan Cinta begitu Salah satu teman kami yang bernama Galau sebutannya
memberi nama tanjakan itu. Teman kami bernama Keriting lantas bertanya “ kenapa
tanjakan Cinta Bang”?. “Nah kalau kita jalan melalui tanjakan itu sama cewek
pedekate kita pansti romantis dan langsung jadiaan ting, kerna harus bergandeng
tangan meneriknya ting, romantiskan?” tutur galau sambil tertawa.
Terkadang
di atas batu yang kami lewati tampak beberapa buah jeruk purut dan sirih.
Semakin berjalan ketas aura mistis semakin kami rasakan. Tapi kami menanggapi
semua dengan berpikir positif.
Jeruk
Purut Diletakkan Para Pejarah Diatas Batu-Batu Di Pinggir Jalan Menuju Puncak Pusuk
Buhit
|
Batu-batu
kecil yang berserakan di jalan sedikit menyusahkan langkah ini. Ternyata
semakin ke atas batu-batu kecil tersebut semakin banyak karna terbawa air
hujan. Kami sedikit tercengang karna bukit yang curam yang kami daki sedari
tadi ternyata di atasnya ada tanah datar yang lumayan luas dan di tumbuhi
tanaman perdu yang hijau. Di tanah datar tersebut terdapat landasan pendaratan
Helikopter. Ahirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda di samping landasan
heli tersebut. Setelah selesai mendirikan tenda tanpa ada komando kami pun
langsung merebahkan badan kami untuk beristirahat.
Tempat Melepas
Lelah Setelah Berjalan Mendaki
|
Malam
itu angin berhembus kencang dan hujan gerimis membuat udara di dalam tenda
terasa dingin, mata kami seakan tak bisa dipejamkan, sesekali kami mengatur
posisi tidur dan menarik sarung untuk mengusir dingin malam itu. Suara serangga
malam mambuat malam itu semakin hening, yang terdengar hanya suara angin yang
berhembus dan tetesan air hujan yang jatuh dari atas tenda kami.
Pagi
mulai datang, tapi rasa dingin semakin kuat terasa sampai ke tulang sumsum.
Semua badan kami terasa bergetar menahankan dinginya udara pagi Pusuk Buhit.
Embun pagi terlihat menutupi puncak Pusuk Buhit pagi itu, sehingga jarak
pandang mata kami hanya berkisar sepuluh meter saja.
Berlahan-lahan
mulai lagi kami langkahkan kaki ini berjalan menuju puncak tertinggi di Pusuk
Buhit. Jaraknya sekitar tigapuluh menit berjalan kaki. Terek yang dilewati
menuju puncak sedikit curam serta menanjak sehingga sangat menguras tenaga. Di
kanan dan kiri jalan terlihat semakin banyak jeruk purut dan sirih yang di
letakkan di atas batu hal ini memang banyak ditemui di atas gunung ini.
Puncak Tertinggi Pusuk Buhit, Tempat Berdoa
Bagi Para Pejarah
|
Akhirnya
kami sampai juga di puncak tertinggi pusuh buhit, di atas terdapat bangunan
berbentuk segitiga dan di setiap sudut dan ditengahnya di letakkan mangkuk
berwarna putih yang berisi air dan jeruk purut. Di samping mangkuk itu terdapat
lembaran-lembaran daun sirih dan buah jeruk purut. Kata teman kami arti
segitiga itu adalah Dalihan Na Tolu (Bahasa Batak Toba) yang merupakan falsafah
utama orang Batak. Di sebelah kiri bangunan itu terdapat dua tiang yang
diatasnya berkibar dua bendera dengan warna yang sama yaitu merah, putih dan
hitam yang merupakan warna dasar orang Batak. Bau mistis dipuncak Pusuk Buhit
ini memang sangat terasa sekali, hampir di setiap sudut terdapat jeruk purut,
sirih dan juga rokok yang di selipkan di sebatang kayu.
Sirih,
Jeruk Purut Merupakan Persembahan Yang Biasanya Di Bawa Oleh Pejarah Ke Puncak Pusuk
Buhit
|
Setelah
kami permisi (Marsentabi/bahasa batak) kami pun berjalan-jalan di atas puncak
itu. Bukit-bukit yang sedari tadi tertutup oleh embun pagi mulai tampak jelas
karna embun mulai berpindah karna
tertiup angin. Terlihat secara keseluruhan pulau samosir dan Danau Toba.
Kilauan air danau ketika terkena cahaya matahari memang menjadi pemandangan
yang luar biasa dan di tambah lagi lekukan-lekukan bukit-bukit yang menglilingi
Danau vulkanik itu membuat kami seakan lupa mengedipkan mata. Tak
henti-hentinya teman saya mengabadikan pemandangan yang indah itu dengan
kameranya, sesekali dia berteriak “ I Love You Pusuk Buhit “ mengexperesikan
kegembiraanya.
Kilauan Air
Danau Toba Saat Terkena Cahaya Matahari Tampak Indah Dari Puncak Pusu Buhit
|
Salah
satu teman kami yang bernama Ucox begitu panggilanya mengajak kami berjalan
menuju kesebelah timur puncak. Dari sana ternyata pemandanganya tak kalah indahnya
dari yang sebelumnya. Wisata pasir putih Pulau Samosir tampak lebih indah dari
atas bukit. Saya langsung mengambil kamera ponsel dan mengabadikanya sambil
berdecap kagum. Setelah puas berfoto dan menikmati pemandangan indah dan
geratis itu kami putuskan untuk kembali turun ke tenda untuk mempersiapkan
sarapan.
Pemandangan Yang Luar Biasa Dari Atas Pusuk
Buhit
|
Mulai
lagi kami pacu tenaga ini menuruni batu-batu yang berserakan, di pertengahan jalan kami berjumpa dengan dua pemuda yang mau ke atas puncak. Ditangan kirinya ada beberapa
butir telur ayam kampung, sirih dan juga jeruk purut. Saat kami tanya ternyata
mereka berasal dari Jakarta yang khusus datang untuk berjarah ke Pusuk Buhit.
Tanpa banyak bertanya kami pun langsung melanjutkan perjalanan kami.
Menu
yang ingin di masak pagi itu adalah ikan asin goreng ditambah dengan makanan
kas para pendaki yaitu mie instan. Tanpa banyak komando kami mengambil tugas
masing-masing. Maklumlah cacing-cacing di dalam perut ini sepertinya sedang
berkor karna laparnya. Teman yang biasanya garang/seram pagi itu terlihat
sedikit kemayu saat mengupas bawah dan cabai yang kami bawa, membuat kami
terkadang tertawa melihatnya.
Aroma
ikan asin goreng membut perut ini semakin lapar ditambah lagi aroma khas indome
rebus membuat sesekali kami menelan air ludah menahankan laparnya. Setelah
semua masak kami pun menhabiskan santapan sarapan pagi itu selera makan kami
cukup besar pagi itu karna sarapan sambil menikmati indahnya pemandangan.
Momen Yang Paling Berkesan Saat Memasak Bersama-Sama
|
Teklama
setelah selesai sarapan, terdengar aungan suara mesin mobil dari balik bukit.
Berlahan-lahan tampak beberapa orang berada diatas mobil gerdang dua yang
berwarna hitam itu. Ternyata yang diatas adalah beberapa pejarah yang datang
dari Kota Medan. Kata salah satu teman kami, memang pada saat libur banyak
orang-orang yang berasal dari luar kota berjarah dan berdoa keatas bukit itu.
Ada yang datang bersama keluarga ataupun berombongan jelas teman kami itu.
Pejarah Yang Sedang Berdoa Dengan Duduk
Diatas Batu Besar
|
Setelah
selesai sarapan kami mulai membongkar tenda dan membereskan semua barang-barang
yang kami bawa karna pagi itu kami berencana turun kebawah dan melanjutkan
perjalanan ke wisata Pasir Putih. Rencananya kami akan menghabiskan satu malam
lagi mendirikan tenda di sana.
Saat Matahari
Mulai Menampakkan Diri Dari Balik Embun Pagi, Seekor Ayam Tampak Sibuk Mencari
Makan Tepat Di Bawah Batu Yang Biasanya Tempat Berdoa Bagi Pejarah
|
Kaki
yang pegal dan berat membuat langkah kami sedikit pelan menuruni jalan yang
berbelok-belok itu. Rasa capek dan pegal semua terbayar dengan pemandangan yang
indah yang kami nikmati di atas Pusuk Buhit.
Kembali Membelah
Hutan Perdu Dan Menelusuri Batu-Batu
|
Oleh-oleh yang kami bawa berupa foto-foto keindahan pemandangan
Danau Toba, eloknya bukit-bukit yang mengliling Pusuh Buhit dan momen-momen
kebersamaan kami menjadi cerita tersendiri yang takkan bisa terlupakan. Kami
berharap akan datang kembali menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang tak ternilai
harganya ini dan menaklukkan kembali tanjakan-tanjakan dan hutan perdu yang
menutupi Pusuh Buhit.
0 comments:
Post a Comment