Sepi dan Damai saat Menanti Pagi |
Hawa
dingin membuka perjalananku waktu itu menuju Bukit Sitelu, yang sekarang sudah
berubah menjadi Gajah Bobok, padahal waktu itu musim kemarau sudah berjalan
beberapa minggu. Tapi cuaca semakin ekstrem sampai menusuk tulang. Mengapa
demikian? Begini kira-kira penjelasan ilmiahnya, pada musim penghujan,
permukaan bumi dipenuhi oleh air, baik dalam bentuk cairan maupun uap. Air
dalam bentuk cairan sebagian besar akan meresap ke dalam tanah, sedangkan air
dalam bentuk uap akan larut di udara. Sebaliknya, pada musim kemarau, permukaan
bumi lebih kering. Kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara
pun sangat sedikit jumlahnya.
Air
merupakan zat penghantar panas yang cukup baik, sehingga mudah menyimpan energi
panas dari cahaya matahari. Pada musim penghujan, di saat permukaan bumi sedang
terdapat banyak air, panas matahari akan lebih banyak tersimpan di air-air
tersebut. Sebaliknya, pada musim kemarau, di saat permukaan bumi sedang kering,
panas matahari akan lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa. Itulah
sebabnya, suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim
hujan. Tapi sebaiknya kita lupakan tentang perubahan musim itu, karena kita
akan membahas tentang perjalanan ke Gajah Bobok.
Sekitar
pukul 6.05 menjelang maghrib aku berangkat dari Kabanjahe, aku menyusuri jalan
lurus Tiga Panah, Merek, lokasi Gajah bobok berada. Ditemani langit yang mulai
berubah meng-oranye, dihiasi garis-garis ungu yang tak beraturan.
Hanya Kuda Besi ini yang Menjadi Teman Berjalan |
Menuju
Merek, hanya kebun jeruk sejauh mata memandang. Diselingi beberapa kios penjual
jeruk. Kawasan ini sering didatangi wisatawan yang hendak merasakan sensasi
memetik jeruk seperti di kebun sendiri. Si empunya kebun akan menghitung
banyaknya jeruk yang ada di kantong plastik yang anda bawa, tapi anda boleh makan
sepuasnya tanpa membayar. Aku tak singgah, karena sudah bosan merasakan hal
itu. Hehehe…
Jalan
yang hampir mulus tanpa lubang-lubang yang berarti menambah laju sepeda motor
ku. Sekitar pukul 6.35 aku sampai di persimpangan menuju pintu masuk, matahari
belum tenggelam sempurna ke peraduannya. Begitu menginjakkan kaki di pintu
masuk, masih tampak jelas barisan-barisan tanaman bunga kol tertata rapi,
terntaya di kaki bukit Gajah Bobok terdapat beberapa petak kebun warga sekitar.
Bukit Setelu dari Kejauhan |
Aku
sempat mampir dan mengobrol dengan beberapa petani yang masih sibuk mengurusi
kebunnya. Aku bertanya kenapa bukitnya dinamai Bukit Sitelu? Mereka mengatakan
ada 3 bukit yang berdekatan didaerah itu, makanya ketiga bukit tersebut dinamai
Bukit Sitelu. Tapi menurut beberapa anak jaman now, bukit tersebut terlihat seperti gajah yang sedang bobok (red: tidur).
Mereka
juga mengatakan belum pernah ada yang camping
kesana, hanya ada beberapa warga yang terlihat naik sekadar melihat-lihat
atau menikmati Danau Toba dari ketinggian yang masih berlokasi di Kabupaten
Karo tersebut. Itu artinya, kami orang luar pertama yang benar-benar camping dan membawa carrier yang berisi tenda.
Tak
hanya menjadi pengunjung pertama, tapi aku juga beruntung karena mendapat cuaca
yang cerah. Ketika matahari telah bersembunyi secara sempurna, bulan mulai
menampakkan sinarnya yang dipantulkan matahari dari sebelah barat. Bulannya tak
punya malu menampakkan dirinya yang begitu jelas kami lihat dengan mata
telanjang, bentuknya bulat sempurna, rasanya permukaannya yang tak rata semakin
jelas. Semasa SD dulu sering membayangkan kalau di bulan itu adalah gambar
Yesus yang terbaring di palungan Maria.
Jalan Menuju Bukit Sitelu |
Ternyata
tak mudah menanjak kesana meskipun sudah mengendarai sepeda motor, jalannya
hanya setapak, benar-benar setapak. Di tengah perjalan menuju puncak, aku
hampir terjun bebas ke mulut jurang karena dengan terpaksa menabrak batu besar
yang berada persis di tengah track.
BERSAMBUNG.
0 comments:
Post a Comment