Kondisi Jalan Menuju Gunung Sibayak, tak ada Rambu-rambu Atau Tanda Peringatan Bahaya |
Jam
menunjukkan pukul 4 sore, saat kami tiba di Kota sejuk Berastagi, kota di mana
menjadi gerbang pariwisata Kab. Karo. Kota sejuta cerita dari sejarah
kedatangan Belanda ke tanah subur ini. Sore itu, tak ada ubahnya sama seperti
hari libur biasanya, aktivitas masyarakat yang sibuk dan wisata lokal yang
terus berdatangan dari luar kota.
Di
sudut salah satu Tugu Perjuangan yang menjadi aikon kota ini kami sibuk
mengecek semua perlengkapan pendakian, sebari menghubungi kru Pandan lainya
yang belum sampai di lokasi itu.
Setiap
bus yang datang dari arah kota Medan pasti berhenti tepat di samping trotoar
jalan tempat kami berdiri, sebari penumpang turun dari atas atap bus.
Pemandangan ini memang bisa kita lihat saat hari libur tiba.
Para
wisatawan dari luar kota biasanya mengahabiskan waktu liburnya dengan mendaki
ke Gunung Sibayak begitu juga dengan kami saat libur itu. Hampir setahun sudah
kami tidak ke gunung yang satu ini, perjalan di lanjutkan dengan sepeda motor
agar bisa singgah di beberapa lokasi wisata lainya.
Memasuki
posko pembayaran retribusi yang terletak di salah satu pangkalan angkutan umum
di Berastagi itu tak tampak ada pendaki yang berhenti untuk membayar retribusi
atau mendaftarkan namanya di buku pendakian, biasanya pada hari libur sudah ada
orang yang berjaga di depan warung kopi sekaligus di dijadikan posko retribusi
itu.
Setiap
pendaki pasti di suruh berhenti dan membayar Rp. 4.000 per orang, tapi hari itu
yang tampak hanya pelang yang bertuliskan " Posko Retribusi".
Perjalalan terus kami lanjut membelah jalan beraspal yang menanjak, tak ada
yang berubah dengan jalan menuju wisata ini, jalan berlubang, licin, berbatu
dan menanjak adalah sambutan pertama saat memasuki kawasan hutan sibayak ini.
Harus
ekstra hati-hati, sebagian pendaki harus menyorong sepeda motornya atau
menurunkan boncenganya untuk melewati tanjakan ini, sepanjang perjalanan jalan
berlobang menanjak dan menurun akan di lewati.
Di
ujung jalan beraspal ada perismpangan, tak jauh dari sana tampak ada dua lelaki
berdiri tegap di kanan dan kiri jalan, di sampingya tampak dua buah traffic cone yang di didirikan di jalan
beraspal sehingga mempersempit jalan. Semua yang ingin menuju sibayak harus
berhenti di sana.
Tak
jauh dari persimpangan itu ada gubuk yang beratapkan terpal biru, disamping
kiri gubuk berdiri plang yang
bertuliskan " Pos Pemungutan Retribusi, UPT. Tahura Bukit Barisan serta
berloga Pemprovsu", di sampingnya ada bendera merah putih yang di ikatkan
di bambu.
Setiap
Pengunjung harus Berhenti di Posko ini dan Membayar Sepuluh Ribu Rupiah /
Orangnya
|
Setiap
yang ingin menikmati indahnya pemandangan puncak sibayak akan di arahkan ke
warung ini dan membayar retribusi sebesar Rp. 10. 000 per orang dan selembar
kertas berwarna biru. Jumlah yang lumayan besar dibandingkan dengan retribusi
sebelumnya. Kami lumayan terkejut dengan jumlah retribusi yang baru ini, salah
seorang kru Pandan mencoba menanyakan kepetugas yang mengutip " itu sudah
aturan bang, harus dibayar segitu kalau mau ke Atas" tutur lelaki yang
mengutip retribusi, dengan nada yang ketus dan tinggi.
Kertas
Retribusi Menuju Sibayak
|
Ya
sudahlah bayar saja, mungkin sudah ada peningkatan pelayanan atau fasilitas
pendukung lainya yang sudah di bangun di atas pikir kami, tak mau berlama-lama
di sana, retribusi kami bayar dan langsung melanjutkan perjalan.
Tak
ada yang berubah, malahan semakin parah, tak jauh dari posko tadi, jalan
semakin rusak, batu-batu dan jalan berlobang yang dalam harus kita lewati. Di
salah satu tanjakakan malahan ada tebing longsor yang menganga lebar dan dalam.
Setipa
pengunjung yang membawa kendaraan sepeda motornya harus melewati di pinggir
tebing dalam ini, tak ada pemberitahuan mengenai kondisi jalan yang akan di
lewati dari petugas posko sebelumnya.
Tak
Boleh Lengah karna Jurang Maut Menunggu, Tak ada Pembatas yang Digunakan untuk Pembatas Antara Jurang
dan Jalan
|
Jangan
berharap ada pelang atau rambu-rambu menunjukkan jalan rusak atau longsor di
lokasi ini, apalagi petugas yang berjaga di sana. Sebagian pengunjung harus
kembali ke posko untuk menitipkan kendaraanya karna tak berani melewati jalan
ini.
Jurang
yang Menganga Lebar Sesaat Sebelum Sampai di Puncak Sibayak
|
Sesampainya
di parkiran sepeda motor juga tak ada yang berubah, sampah menjadi pemandangan
biasa si setiap sudut. Tak ada tong atau tempat sampah yang di sediakan, jangan
berharap ada fisilitas gratis yang bisa kamu nikmati di sini, semua harus di
bayar mulai dari kamar mandi, parkiran, penitipan barang dan lainya. Pembayaran
Rp. 10.000 per orang juga kita tak tahu ke mana arah peruntunanya.
Sampai
ke puncak sibayak juga masih sama seperti sebelumnya, pemandangan sampah menjadi
hal biasa, lokasi mendirikan tenda juga tak ada aturan, setiap lokasi di puncak
bebas mendirikan tenda. Sehingga sebagian hutan perdu menjadi lokasi mendirikan
tenda. Tak heran di puncak pilar dan tapal kuda tampak ada tenda yang berdiri
padahal ini sangat berbahaya karna aingin di atas puncak sibayak kencang.
Pesona
sibayak ternyata masih tetap menghasilkan rupiah, pengunjung setiap hari libur
masih ramai berdatangan menukarkan uangnya dengan menikmati pemandangan alam
sibayak di Posko retribusi dan warung-warung di sana.
Sudah
saatnya pemerintah memikirkan sistem dan pengelolaan Sibayak yang tertata baik
serta mengutamakan kelestarian Alam Sibayak dan kenyaman para pengunjung, dibuatnya
peraturan apa yang boleh dan tidak boleh di lakukan bagi pengunjung saat
mendaki serta sangsi yang tegas bagi yang melanggarnya, agar keindahan sibayak
tetap terjaga.
Mari
Kita Jaga, Karna Uang bukan Segalanya.
0 comments:
Post a Comment